Menu
Masmirah
  • Home
  • Tentang
    • Profil Singkat Pulau Lombok dan Sumbawa
    • Sejarah
  • Berita
  • Rubrik
  • Forum
  • Sosial Budaya
    • Umum
    • Kesenian & Pertunjukan
    • Sastra
    • Arsitektur
    • Kuliner
  • Keanekaragaman Hayati
  • Pariwisata
    • Even
    • Travelling
    • Wisata Kuliner
  • Informasi Penting
  • Privacy Policy
Masmirah

Paēr sebagai Spirit bagi Mekanisme Pranata Sosial

Posted on 2019-04-262019-04-27
Spread the love

Di dalam Kamus Kawi – Jawa, yang disusun C.F. Winter Sr. dan R. Ng. Ranggawarsita, terdapat dua kata yang sangat membantu dalam menelusuri arti dan makna paēr ini secara etimologis.  Kata-kata tersebut adalah, pahēran ‘pangentosan’ = tempat penantian; pahyaran ‘panggēnan’ = tempat tinggal.

Manusia Sasak tradisional meyakni bahwa hidup di dunia ini hanya sementara saja, dan oleh karena itu sama dengan sebuah penantian, sebelum giliran tiba untuk “berlayar” menuju ke kehidupan yang sesungguhnya dan abadi nun jauh di sana, di tempat para leluhur yang telah meninggal  kini berada.

Sementara tempat tinggal tidak hanya  semata alamat dengan nomor tertentu, tetapi di dalamnya termasuk juga di mana tempat lahirmu, siapa orang tuamu, siapa pula keluargamu, kampung halaman dan komunitasmu, dan implisit, seperti apa dan bagaimana adat-istiadatmu serta tradisimu.             

Sebagai tempat penantian dan tempat tinggal, Pulau Lombok adalah ekosistem, yang bagi manusia Sasak adalah sumber “kejadian” seluruh makhluk penghuninya.  Mereka meyakini unsur-unsur yang tersedia dalam ekosistem itu, terutama sekali tanah dan air, adalah asal kejadian dan faktor dasariah terciptanya semua makhluk.

Tanah, selain mereka yakini seperti di atas, juga sangat mereka hayati sebagai tempat lahir, yang bukan karena sebuah kebetulan, melainkan karena titah dan takdir Yang Kuasa.  Kepemilikan atas tanah, tanah pusaka warisan leluhur (bukan hasil membeli dan sejenisnya), adalah jaminan eksistensial seseorang dan keluarganya untuk “merasa memiliki hak” bertempat tinggal pada sebuah wilayah dan menjadi bagian dari komunitasnya. 

Pada saat yang bersamaan, diri dan komunitas tadi meyakini juga bahwa mereka adalah bagian dari entitas paēr yang lebih besar secara sosiologis, dan seterusnya, hingga entitas Manusia dan Gumi Paēr Sasak secara keseluruhan. 

Tanah sebagai tempat dan sumber kehidupan sangat mereka pahami, sehingga dalam setiap pemanfaatannya selalu diawali dengan berbagai ritual, yang dimaksudkan tidak hanya untuk menjaga  keseimbangan ekosistem, tapi juga untuk keserasian lingkungan sosial.  Dengan demikian, paēr bukan hanya sekedar konsep tata ruang, geografis dan kosmologis, tetapi juga geo-simbolis, dan geo-sosiologis.        

Secara sosiologis, kesadaran sebagai bagian dari sebuah entitas kultural diwujudkan dalam bentuk upaya yang terus menerus menjaga keutuhan komunitas.  Keselarasan antara sistem budaya (simbol, nilai, dan sebagainya) dengan sistem sosial (norma, adat, awik-awik, stratifikasi,dan sebagainya), dan sistem perbuatan sosial (kepribadian, tingkah-laku, dan sebagainya), menjadi jaminan yang tidak bisa ditawar.  Untuk itu, berbagai simbol diciptakan. Dalam bentuk kata, kita menemukan semeton.  Kata semeton ini, dalam keseharian manusia Sasak, berarti ‘saudara’; besemeton ‘bersaudara’ secara genealogis.  Tetapi, sebagai idiom simbolik dalam Budaya Sasak, ia bermakna ‘siapa saja,  sesama manusia, yang menempati Gumi Sasak serta bersedia hidup bersama dalam tatanan dan kondisi senasib-sepenanggungan.  Di bawah ini, petikan dari Lontar Te Melak Mangan, bait 252, dengan jelas mengingatkan :

     Sai-sai uŋkoniŋ sasak,

     giraŋ maca babat gumi,

     mau’ rahmat  si’ Pengeran,

     pahala mara’ ŋujuŋi,

     le’ bilaŋ makam mandi,

     deniŋ bakluhuran slapu’,

     ita pada ŋepeyaŋ,

     ade’ tetawo’ tandan gumi …….

     “Siapa saja yang menempati Tanah Sasak,

     rajin-rajinlah membaca sejarahnya,

     agar mendapat rakhmat dari Yang Kuasa,

     pahala yang berlimpah,

     di setiap makam mandi,

     karena kita semua berleluhur yang sama,

     kita semua adalah pemiliknya,

     agar kita tahu lekuk-liku tanah pusaka ……”

Demikian pula halnya dengan berbagai bentuk simbolik lainnya.  Kesenian, misalnya, diciptakan oleh manusia Sasak dalam rangka yang sama, yaitu untuk memelihara solidaritas kolektif dan untuk menjaga keutuhan komunitas. 

Lirik-lirik pantun Sasak yang tertuang dalam genre lawas, lelakaq, kekayaq, dan juga tembang-tembang macapat Sasak, seperti sinom, pangkur, asmarandana, maskumambang dan lain-lainnya, selalu mengingatkan untuk tetap memelihara keseimbangan dan keserasian sosial. 

Menyadari diri sebagai komunitas multikultural, manusia Sasak memrioritaskan etika dan moralitas sebagai semangat dan landasan bagi  mekanisme pranata sosial mereka.  Semangat inilah yang melahirkan nilai dasar yang mereka simbolkan dengan kata “tindih”, dan ditopang oleh “maliq” dan “mērang” sebagai nilai kelengkapannya.

Secara sederhana tindih dapat dimaknakan sebagai ‘kekuasaan etika dan kekuatan moral yang ditanamkan pada diri setiap pribadi manusia Sasak untuk menjaganya dari kemungkinan berperilaku kurang pantas dan mengganggu hak-hak sesama, yang akan menyebabkan goyahnya keserasian dan keseimbangan sosial’.   Maliq, walaupun dalam pemahaman umum dan sehari-hari berarti ‘pantang/tabu’, tetapi sebagai nilai ia mengandung makna ‘batas antara yang boleh dengan yang tidak boleh’.  Sementara mērang (dari wirang = malu) merupakan simbol nilai yang bermakna ‘mekanisme pertahanan diri yang mewajibkan setiap pribadi dan komunitas menjaga, melindungi, membela dan mempertahankan integritas serta kehormatannya’. 

Kandungan isi ketiga nilai dasar di atas, tertuang ke dalam seluruh klausul Adat Sasak, yang berdasarkan obyeknya dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :

I.  Adat Urip, adalah adat yang mengatur segala hal yang berkaitan denganhidup dan kehidupan manusia Sasak.

II.  Adat Pati, adalah adat yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kematian, baik prosesi maupun segala bentuk ritual yang menyertainya.

III.  Adat Puruse, adalah adat yang mengatur hubungan manusia sasak dengan alamnya.Konsep-konsep norma yang terdapat pada ketiga golongan adat itu, teraplikasi melalui empat subsistem adat, masing-masing :

  1. Adat Game, mengatur pola hubungan manusia Sasak dengan Tuhannya
  2. Adat Krame, mengatur prosesi dan ritual yang berhubungan dengan daur hidup.
  3. Adat Tapsila, mengatur pola dan mekanisme hubungan antar sesama manusia.
  4. Adat Puruse, mengatur hubungan manusia Sasak dengan lingkungan alamnya.

Implementasi tindih yang lebih praktis adalah ketika menjadi spirit bagi penyusunan awik-awik, semacam hukum dalam tradisi Sasak, yang mengatur tata-cara manusia berhubungan dengan sesamanya dan dengan alamnya, berikut beban sangsi apabila terjadi pelanggaran dalam proses pelaksanaannya. 

Dalam kehidupan sehari-hari, tindih ini dapat terlihat dalam bentuk sikap dan laku pribadi yang serba memole ‘menghormati dan memuliakan kehidupan’ sebagai anugerah Sang Pencipta.  Sikap, tutur-kata, dan tingkah-laku dalam setiap situasi dan kondisi harus semaiq ‘sesuai dan sepantasnya’, bahkan dalam berkhayal sekalipun. 

Argumentasi untuk itu bahwa setiap sikap, tutur-kata, dan perilaku akan terekam dan akan menjadi dokumentasi serta referensi setiap orang dalam komunitas untuk hari-hari selanjutnya. Oleh sebab itu, setiap orang harus selalu berupaya untuk menjadi teladan bagi sesama dan lingkungan sosialnya.

Kandungan lain dari tindih, yang menjadi salah satu pilar bagi lestarinya keserasian dan keseimbangan sosial adalah siru.  Sebagai nilai kualitatif, siru merupakan wujud kesadaran manusia Sasak, yang meyakini bahwa tidak satu pun makhluk di jagat ini yang keberadaannya tidak terkait dan terpaut dengan makhluk lainnya; kesaling-tergantungan antar sesama makhluk merupakan prinsip dasar dari eksistensi.

Besiru adalah bentuk praktis dari siru, yang dalam kehidupan sehari-hari manusia Sasak terwujud sebagai sikap dan laku ke-saling-an; saling tolong, saling beri, saling jaga, saling didik, dan seterusnya.  Sampai dengan 4 – 5 dekade yang lalu, dalam hal membangun rumah atau menggarap sawah, misalnya, seseorang tidak perlu meminta-minta bantuan ke sana ke mari, sebab tanpa diminta, bantuan itu akan datang sendiri.  Demikian pula halnya untuk berbagai sisi kehidupan lainnya, yang membutuhkan kehadiran orang lain. 

Seperti juga masyarakat tradisional lainnya, masyarakat Sasak memiliki kesadaran institutif.  Simbol/nilai dan institusi bagi mereka adalah satu mata uang dengan dua sisi.  Mereka sangat menyadari bahwa kehadiran sekaligus simbol/nilai dan institusi merupakan suatu keniscayaan. 

Semeton, tindih, maliq, mērang, siru, dan sekian simbol lainnya, yang mereka ciptakan dalam rangka melestarikan Gumi Paēr Sasak, hanya mungkin disosialisasi, dikontrol dan dilestarikan melalui mekanisme institusi.  Dari sumber lisan, di masa lampau, pada level Gumi Paēr Sasak ada semacam majelis yang disebut dengan Rat Sasak, yang beranggotakan tokoh-tokoh yang merupakan representasi seluruh paēr wilayah,  yang berfungsi dan berperan sebagai lembaga legislatif dan yudikatif dalam rangka pengelolaan Gumi Paēr Sasak dan Adat Sasak.

Sementara untuk tingkat paēr wilayah, sumber lisan yang ada, tidak cukup bukti untuk menjamin keberadaan lembaga sejenis.  Tetapi, dipastikan ada semacam forum musyawarah (Sasak: gundem), yang berfungsi dan berperan sama dengan Rat Sasak untuk wilayahnya.   

Dēse paēr adalah satuan wilayah paēr, yang merupakan isi/bagian dari paēr wilayah.  Sebagai satuan wilayah administratif, sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, dēse paēr melengkapi dirinya dengan berbagai perangkat kelengkapan, seperti Pemekel (sekarang: Kepala Desa); Krame Dēse ‘lembaga legislatif dan yudikatif’; Langlang ‘pejabat keamanan’; Pengulu ‘pejabat keagamaan’; Juru Pandē ‘pejabat spiritual dengan tugas menjaga keseimbangan alam fisik dengan metafisik’; Pekasih ‘pejabat pengairan’; dan lain-lainnya.  Sebagai satuan wilayah budaya dengan perangkat Krame Dēse yang dimilikinya, dēse paēr memiliki kewenangan otonomi untuk menderivasi simbol, nilai dan norma yang terdapat dalam budaya dan adat Sasak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan alamnya dengan tetap mengacu pada prinsip solidaritas komunal dan keutuhan komunitas Sasak.

Setingkat di bawah dēse paēr adalah Gubuk Gempeng.  Sebagai satuan kawasan yang menjadi bagian dari dēse paēr, gubuk gempeng adalah juga satuan wilayah administratif, sosial politik, sosial budaya, yang dipimpin oleh seorang Kliang.  Sebagai pejabat sosial politik, Kliang ini mengemban tugas eksekutif, layaknya Kepala Dusun sekarang.  Sebagai pejabat sosial budaya, Kliang memeiliki kewenangan kontrol terhadap lalu lintas nilai, norma, moral, etika dan adat-istiadat yang lalu lalang di wilayahnya. 

Institusi yang mendampingi Kliang untuk tugas ini adalah Krame Gubuk.  Institusi ini adalah lembaga yang fungsinya berkaitan dengan masalah-masalah hukum dan keadilan, dalam pengertian legislatif sekaligus yudikatif.  Oleh karena itu, di samping memroduksi peraturan yang disebut awik-awik dan mengawasi pelaksanaannya, krame gubuk ini juga menyelenggarakan fungsi mediasi  bagi penyelesaian sengketa dan konflik yang terjadi antar warga selingkung gubuk. 

Anggota-anggota krame gubuk ini adalah tetua-tetua gubuk yang direkomendasikan oleh warga.  Institusi lain yang terdapat di dalam gubuk gempeng ini, banjar.  Sebagai institusi, banjar ini merupakan persekutuan warga selingkung gubuk, yang berfungsi sebagai wadah berlangsungnya berbagai kegiatan dan aktivitas sosial kemasyarakatan.  Anggota banjar ialah semua warga selingkung melalui perwakilan kepala rumah tangga.

Institusi terakhir dan dan terkecil, tetapi merupakan inti, dalam struktur kelembagaan paēr  adalah Balĕ Langgaq.  Balĕ ‘rumah’, langgaq ‘seluruh isi ser kelengkapan lainnya, yang menopang balĕ menjadi institusi sosial’.  Di dalam balĕ langgaq ada suami, isteri dan anak-anaknya, tetapi seringkali termasuk kakek dan nenek, cucu serta sanak saudara lainnya.  Di dalam balĕ langgaq inilah untuk pertama kalinya setiap manusia Sasak diperkenalkan dengan spirituallitas, etika, moralitas, norma, dan kaidah-kaidah sosial sesuai dengan kandungan semeton, tindih, maliq, mērang, siru, dan lain sebagainya.

Nilai, etika, ajaran-ajaran moral, dan sebagainya itu didistribusikan, dididikkan melalui mite-mite, dongeng, nyanyian, dialog, perilaku, keteladanan, oleh yang lebih tua kepada yang muda, dan kepada anak-anak dari generasi ke generasi.

Sumber: Artikel berjudul,
PAĒR (Konsep Geo-sosiokultural dan Spirit bagi Mekanisme Pranata Sosial  Masyarakat Majemuk
Perspektif Budaya Sasak). Oleh: Moch Yamin

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jadwal Kegiatan

There are no upcoming events.

View Calendar

Terkini

  • Memburu Matahari Terbit di Ujung Selatan Pulau Lombok
  • Tenunan unik dari Kaki Gunung Rinjani
  • Paēr sebagai Spirit bagi Mekanisme Pranata Sosial

Kategori

  • Berita
  • Keanekaragaman Hayati
  • Kesenian & Pertunjukan
  • Rubrik
  • Sastra
  • Sejarah
  • Tenun Tradisi
  • Travelling
  • Umum
  • Uncategorized
  • Wisata Bahari

Arsip

  • May 2019
  • April 2019

Komentar

  • mandalika on Wayang Sasak (1)

Kontak Kami

Media Sosial

Galeri Foto

gendang beleq

Forum

  • Siapa sebenarnya orang Sasak itu? asked by Admin
©2021 Masmirah | WordPress Theme by Superbthemes.com

Privacy Policy